Pancen nyleneh...

Pitutur Saking Mbah Dipo

| Tuesday, November 17, 2009
Malulah Sebelum Malu-maluin!


Saking Mbak Dipo wonten ing pitutur net

Kemarin simbah menyempatkan diri blayangan ke Pasar Pagi buat survey barang-barang mainan. Sibuk dan ruwet bukan main. Hingga akhirnya simbah sampai di satu sudut jembatan yang baunya minta ampun pesingnya. Rupa-rupanya khalayak ramai sepakat untuk ngrabuk sudut jembatan itu dengan uyuh bin kencing. Dan itu nampak dari beberapa orang yang dengan sengaja wira-wiri masuk kesitu untuk memenuhi panggilan alamnya.

Yang gak enak dipandang adalah prosesi dari ngrabuknya itu. Lha si oknum dengan santainya ngocor sambil singsut-singsut, trus dengan cueknya mengandangkan si waterbird ke paseban. Hampir tanpa tutup, di tengah lalu lalangnya orang. Jangan tanya cebok apa nggaknya. Atau istinjak pakai apa, karena baik air maupun batu tak ada. Kalopun dimungkinkan istinjak, paling dioset-oset ke tembok jembatan… jian malah mikir yang saru tho sampeyan..

Kejadian yang sama pernah simbah lihat di Terminal Pulogadung. Cobalah di siang hari yang terik, berjalan di dalam terminal bisnya. Maka aroma amonia yang nyungsep menggelitiki hidung akan segera menyambut sampeyan. Trus tak lupa pemandangan di kiri kanan, para sopir dengan santainya nguyuhi ban kendaraannya, sambil sesekali ngudud pating sledubh…. terlihat puas.

Padahal nguyuh wal kencing itukan urusan yang sensitip dan membutuhkan privasi. Terbukti orang lebih nyaman melakukannya di ruangan tertutup. Kalopun di ruang terbuka, ternyata ya masih clingak-clinguk macem munyuk ditulup. Berarti masih tersisa endapan rasa malu. Belum semua terkikis. Nggak kayak Sarindi si oknum yang setengah edan, seprapat menying, dan seprapat ra ganep itu, nguyuh ya tinggal mlotrokne kathok. Masalah orang lihat rudalnya apa tidak gak masalah.

Malu itu bagian dari iman. Tapi malu yang pada tempatnya. Dahulu wanita kelihatan dengkulnya saja merasa malu. Bahkan wanita barat pun begitu. Namun seiring dengan waktu, jangankan dengkul, sampai keliatan selangkangannya pun malah ditunjukkan dengan senyum lebar. Mereka bilang itu kan cuma daging dan kulit biasa. Batas aurat yang harus dirasakan malu oleh pemilik aurat pun gak jelas, dan malah dibikin kabur.

Aurat jadi gak jelas definisinya. Ini disengaja, biar bingung mendefinisikan aurat, pornografi dan lain sebagainya. Sebagian orang menganggap yang namanya aurat wanita itu cuma “puting susu” sama “klitoris”. Jadi selama dua barang itu tertutup, masih bisa dianggap menutup aurat. dan itulah yang sedang dikampanyekan oleh sebagian besar jurkam Iblis. Yang lebih ekstrim, ada juga yang gak mengenal aurat. Tubuh manusia itu gak ada auratnya. Pakaian itukan cuma memperindah saja fungsinya. Kalo dengan tanpa pakaian lebih indah, ngapain berpakaian.

Inilah yang akhirnya membuat rasa malu manusia terkikis. Gadis pemalu yang tadinya gak enak kalo pahanya terlihat, berlomba-lomba menggelar tontonan gratis di mana-mana tempat. Kalo ditegur malah nyobrot, “Situ saja yang ngeres otaknya. Lha kalo sudah dasar pikirannya ngeres, lihat pepaya saja asosiasinya sudah macem-macem.”

Yang nyobrot ini gak sadar bahwa type manusia yang dia cap ngeres otaknya itu bukan satu dua orang. Dia hanya berpikir bahwa yang ngeres otaknya itu adalah para kyai bersorban, berjenggot, celananya cingkrang, jidatnya gosong yang mengingatkan dia untuk berpakaian menutup aurat, mereka ini sok bermoral, jumlahnya minoritas, hanya 5% paling banter. Sedangkan selain yang simbah sebut tadi adalah manusia yang layak dipercaya, yakni dari kalangan preman pasar, karyawan kantor berwajah culun, laki-laki monogami yang santun, pria-pria eksekutif dari alam party dugem yang sopan berhati bersih, bromocorah bertato yang pasti tahu adab, yang kalo lihat paha mulus dan payudara montog sama rasanya dengan melihat batu kali. Dan golongan yang ini lebih banyak, 95% lah, miturut statistik mereka. Jadi gak usah kawatir kalo mau ngligo ngumbar kothang.

Gak tahulah simbah, darimana statistik itu. Tapi ada salah seorang kawan lama simbah dari dunia dugem yang termasuk dalam 95% manusia santun dan beradab itu, suatu ketika duduk mendengarkan satu ceramah. Duduk di depannya seorang perempuan memakai rok ultra mini. Mungkin gak kuat sumuk, maka dibiarkan ngisis semriwing agak semrowong. Sang kawan lama bertanya pada teman sebelahnya dengan berbisik… :

“Nggowo sego opo ora Dul?” tanyanya, pada si Dul kawan dekatnya. Aneh-aneh wae, kok nanya bawa nasi apa tidak nggo opo tho?
“Ora kang. Takok sego nggo opo?” Tanya si Dul.
“Galo kae ono sampil nganggur iso nggo lawuh….”
Keduanya ngakak, saat si kawan lama nunjuk paha mloho yang digelar bak sampil wedhus kambing guling. Mungkin semua orang dianggep kayak si kawan lama ini. Lihat auroth malah ngelih…. dasar kanibal ndeso.

Maka malu itu pokok. Malu yang pada tempatnya. Tempat malu adalah di dalam koridor syareat agama. Ini berlaku dimana-mana tempat. Di jalan, di gedung DPR, di kantor, di terminal dlsb. Kalo malu sudah tercabut, maka bencana besar. Korupsi, kolusi, nepotisme, dan budaya permisif adalah sebagian kecil akibat hilangnya rasa malu. Maka janganlah menjadi orang yang sebagaimana disebutkan cirinya oleh Ki Tamtomo Madipo-dipo di bawah ini :

Isih cilik isinan
Mundhak gede ngisin-isini
Mbareng tuwo ra nduwe isin
Bookmark and Share

0 komentar:

Post a Comment